Rabu, 12 Januari 2011

KURIKULUM PENDIDIKAN DI INDONESIA PADA ERA REFORMASI DAN MAKNA KEBEBASAN GURU DALAM PEMBELAJARAN DI ERA OTONOMI PENDIDIKAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurunnya kualitas pendidikan di tanah air semakin berkembang dengan pesatnya. Padahal, pendidikan memiliki peran penting dalam kehidupan secara menyeluruh. Dan hal ini dipertegas dalam UU Nomor 2 tahun 1989 pasal 4 yang menyebutkan: Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Barangkali pemicu utama dari persoalan tersebut adalah peran serta kebijakan–kebijakan pemerintah yang kurang memihak dunia pendidikan. Butuh kerja keras banyak tangan demi menghadirkan solusi rendahnya kualitas ini. Terlepas dari semuanya, dua dari sekian banyak faktor penyebab kualitas yang rendah pada pendidikan di tanah air ini adalah kebijakan kurikulum dan manajemen pendidikan. Sekian banyak pergantian kurikulum tetap saja tidak bisa menyelesaikan permasalahan tersebut. Ditambah lagi manajemen pendidikan di hampir setiap lembaga pendidikan yang amburadul.
Menurut Agus Suwigno, kurikulum memang bukan satu-satunya penentu mutu pendidikan. Ia juga bukan perangkat tunggal penjabaran visi pendidikan. Meskipun demikian, kurikulum menjadi perangkat yang strategis untuk menyemaikan kepentingan dan membentuk konsepsi dan perilaku individu.
Sedangkan untuk manajemen pedidikan, ternyata masih banyak yang beranggapan bahwa manajemen pendidikan tidaklah mempunyai peran dalam dunia pendidikan karena persepsi yang keliru bahwa domain manajemen adalah bisnis. Banyak penyelenggara pendidikan yang bahkan masih belumk melihat perlunya manajemen dalam penyelenggaraan pendidikan. Kalaupun diterapkan, manajamen pendidikan nasional sementara ini secara keseluruhan masih bersifat sentralistis sehingga kurang mendorong terjadinya demokratisasi dan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan.
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia telah mengalami beberapa periode perkembangan yang dinamis dan memperlihatkan kompleksitas hubungan antara pendidikan dan politik. Setiap periode ditandai oleh adanya infiltrasi politik terhadap sistem penyelenggaraan pendidikan dan implikasi sistem pendidikan terhadap dinamika politik. Sketsa penyelenggaraan pendidikan di negeri ini dapat dibagi menjadi enam periode perkembangan.
Periode pertama adalah periode awal atau periode prasejarah yang berlangsung hingga pertengahan tahun 1800-an.
Periode kedua adalah periode kolonial Belanda yang berlangsung dari tahun 1980-an hingga tahun 1945.
Periode ketiga adalah periode pendudukan Jepang yang berlangsung dari tahun 1942 hingga tahun 1945.
Periode keempat adalah periode Orde Lama yang berlangsung dari tahun 1945 hingga tahun 1966.
Periode kelima adalah periode orde baru yang berlangsung dari tahun 1967 hingga tahun 1998.
Periode keenam adalah periode reformasi yang dimulai pada tahun 1998, seiring dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru.

B. Definisi Kurikulum
Kurikulum adalah perangkat pendidikan yang harus dibuat dengan pertimbangan berbagai aspek demi tercapainya tujuan pendidikan tertentu. Aspek–aspek tersebut meliputi pendidik, peserta didik dan masyarakat.

C. Perkembangan Konsep Kurikulum
Konsep kurikulum yang terdapat dalam dunia pendidikan di Indonesia haruslah sesuai dengan perkembangan zaman agar lulusan yang dihasilkan adalah lulusan yang berkualitas dan tidak bertolak belakang dari tujuan pendidikan nasional.
Perubahan zaman mengakibatkan perubahan kurikulum itu sendiri. Dan dalam sejarah pendidikan di Indonesia sudah terjadi enam kali perubahan kurikulum. Yakni, pada rentang waktu tahun 1945-1949 dikeluarkan Kurikulum 1947. Tahun 1950-1961, ditetapkan Kurikulum 1952. Kurikulum terakhir pada masa Orde Lama adalah Kurikulum 1964.
Meskipun begitu, perubahan kurikulum nasional kebanyakan hanya menitikberatkan pada perubahan konsep tertulis saja seperti buku–buku pelajaran dan silabus tanpa mau memperbaiki proses pelaksanaannya di tingkat sekolah.
Apalagi banyaknya kepentingan politik dan ekonomi yang mewarnai kurikulum nasional menambah semakin sulit tercapainya sasaran utama pendidikan di Indonesia yakni mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara.




BAB II
PEMBAHASAN

A. Kurikulum Pendidikan di Indonesia Pada Era Reformasi dan Makna Kebebasan Guru Dalam Pembelajaran Di Era Otonomi Pendidikan
Periode era reformasi yang dimulai pada tahun 1998, seiring dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru. Pada periode ini semangat desentralisasi, demokratisasi, dan globalisasi yang dibawa oleh gerakan reformasi menjalar ke semua sektor pembangunan, termasuk sektor pendidikan sehingga menjadi menu utama penataan sistem pendidikan nasional
Pada era reformasi muncul Kurikulum 2004 yang dikenal dengan nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang pada tahun 2006 dilengkapi dengan Standar Isi dan Standar Kompetensi (Sisko) yang memandu sekolah menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Otonomi pendidikan sebagai hasil dari perjuangan reformasi di bidang pendidikan pada akhirnya memunculkan beberapa kebijakan di bidang pendidikan seperti Manajemen Berbasis Sekolah (school-based management), dan rencana implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (curriculum-based competence), dan Kurikulum Berbasis Sekolah (school-based curriculum).
Reformasi di bidang pendidikan, meskipun dikatakan oleh Surakhmad (2002) secara psikologis dan politis dirasakan amat terlambat dan secara teknis dikatakan terlalu cepat, pada dasarnya merupakan salah satu dari ‘tekad’ dan ‘gebrakan’ bangsa Indonesia yang harus tetap dijaga untuk melakukan perbaikan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Berbagai predikat, peristiwa dan kasus ‘negatip’ yang telah dan sedang dialami bangsa Indonesia, seperti sebutan bangsa yang akrab dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan segala perangkat kata sinonimnya, sebagiannya adalah karena akibat dari salah urus dalam menata pendidikan. Dari kondisi itu tidak mengherankan kalau kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat memprihatinkan, berada pada urutan paling belakang dibandingkan dengan pendidikan bangsa-bangsa lain di tingkat regional maupun internasional. Hal tersebut tercermin, antara lain, dari hasil studi kemampuan membaca untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) yang dilaksanakan oleh International Educational Achievement (IEA) menunjukkan bahwa peserta didik SD di Indonesia berada pada urutan ke-38 dari 39 negara peserta studi. Sementara untuk tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), studi untuk kemampuan matematika, peserta didik SLTP di Indonesia hanya berada pada urutan ke-39 dari 42 negara, dan untuk kemampuan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) juga berada pada peringkat ‘buncit’, yaitu urutan ke-40 dari 42 negara peserta (Bappenas, 2000).
Sebagai wujud reformasi di bidang pendidikan itu, maka bermunculan berbagai perubahan dan penyempurnaan peraturan perundangan seperti: perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1990 menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Perguruan Tinggi dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Sebagai Badan Hukum, PP Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar; disempurnakan menjadi PP Nomor 55 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah.
Di samping itu, sebagai bentuk realisasi dari keinginan reformasi dan demokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan seperti yang dituangkan dalam Propenas, Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia menerbitkan surat Keputusan Mendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Surat keputusan itu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan.
Beberapa perubahan dan penambahan aturan perundangan itu diharapkan mampu mengangkat kualitas pendidikan di Indonesia sesuai dengan keinginan dan demokratisasi pendidikan. Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management), sebenarnya merupakan bentuk riil keinginan bangsa Indonesia untuk menuju sistem penyelenggaraan pendidikan yang lebih baik, demokratis dan manusiawi. Keinginan dan harapan perubahan itu paling tidak seperti yang dicantumkan dalam Buku Pedoman Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) oleh Direktorat SLTP Ditjen Dikdasmen Depdiknas seperti yang diadopsi dalam bagan berikut.
















Bagan Dimensi-dimensi Perubahan Pola Manajemen pendidikan
Diadaptasi dari Direktorat SLTP Ditjen Dikdasmen, Depdiknas 2001

Meskipun implementasi MBS ini memerlukan perjuangan berat bangsa Indonesia dan membutuhkan waktu yang cukup panjang (time consuming), dalam pandangan Noble (1996), MBS itu diharapkan dapat: (1) meningkatkan prestasi akademik peserta didik (academic achievement), (2) meningkatkan pertanggung jawaban (accountability) diantara para pengambil kebijakan, (3) meningkatkan pemberdayaan (empowerment) ke arah perbaikan budaya sekolah (school culture), dan untuk kegunaan politis (political utility) karena para pengambil kebijakan di masyarakat (local players) benar-benar mengetahui apa yang diperlukan untuk meningkatkan sekolah.
Desentralisasi pendidikan di samping merupakan kebijakan yang diharapkan mampu menumbuh-suburkan proses demokratisasi pendidikan, kebijakan itu juga dapat menciptakan pendidikan yang lebih demokratis. Zamroni (2001) melukiskan paradigma pendidikan yang demokratis itu dan membandingkannya dengan paradigma birokratis seperti yang pernah dipraktekkan bangsa Indonesia selama beberapa dekade yang lalu. Ilustrasi pendidikan yang demokratis itu tertuang pada tabel berikut.
Muara dari tuntutan dan keinginan bangsa Indonesia tentang desentralisasi atau otonomi pendidikan itu adalah pada Manajemen Berbasis Sekolah (School-Based Management), yang kemudian konsekuensi logisnya akan diikuti dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (curriculum-based competence), dan Kurikulum Berbasis Sekolah (school-based curriculum) serta Penilaian Berbasis Kelas (classroom-based evaluation). Meskipun di negara-negara lain manajemen berbasis sekolah (MBS) itu telah digulirkan sejak tahun 1970-an, MBS mencuat kuat di Indonesia sejak tahun 2000-an, karena adanya reformasi di bidang pendidikan.
Tabel 1
Perubahan Paradigma Menuju Pendidikan Demokratis

No. Aspek Paradigma Pendidikan Birokratis Herarkis Paradigma Pendidikan Demokratis
1. Perencanaan Top – down Buttom – up
2. Pelaksanaan Didasarkan instruksi – petunjuk Didasarkan atas profesionalitas
3. Standard Out put dan proses: nasional – makro Out put nasional makro, proses lokal mikro
4. Target Nasional – makro Level sekolah – wilayah terbatas
5. Pemahaman tujuan target Didasarkan atas pedoman dari pusat Didasarkan atas kondisi sekolah
6. Sistem insentif Seragam dan kepatuhan Sistem prestasi
7. Umpan balik orang tua peserta didik Tidak diperlukan, kecuali bagi peserta didik yang bermasalah Diperlukan secara teratur
8. Orientasi Pengembangan intelektual (NEM) Pengembangan aspek intelektual, personal dan sosial
9. Persepsi terhadap input Masukan peserta didik diperlukan sebagai raw input yang menentukan hasil akhir Masukan peserta didik bukan merupakan raw input melainkan klien yang memerlukan pelayanan jasa sekolah
10. Evaluasi Dilaksanakan pada titik-titik waktu tertentu dan bersifat seragam Dilaksanakan sepanjang waktu dengan menekankan kebutuhan sekolah
11. Kontrol sekolah Oleh atasan Oleh orang tua peserta didik dan masyarakat sekitar
12. Pengambilan keputusan Ada di tangan kepala sekolah dengan perkenan atasan Rapat guru, orang tua peserta didik dan kepala sekolah
13. Peran orang tua peserta didik dan masyarakat Terbatas menyediakan dana Terlibat dalam seluruh proses pendidikan, kecuali menentukan nilai

Menurut Cheng (2001), MBS merupakan salah satu kecenderungan internasional yang paling menonjol dalam reformasi di bidang pendidikan (the most salient international trends of school reform). MBS memberikan banyak kesempatan dan kebebasan kepada para guru, orang tua, pendidik, pengelola pendidikan, dan pemimpin pendidikan untuk memikirkan kembali praksis pendidikan, mengembangkan mereka sendiri, mengubah peranan dan membuat inovasi serta meningkatkan kualitas lulusan.

B. Kebebasan Kreatifitas Guru Dalam Pembelajaran
Kelas merupakan unit terkecil tetapi terdepan tempat berlangsungnya proses pembelajaran. Meskipun sebagai unit terkecil, tempat proses pembelajaran itu memegang peranan paling penting dalam pembentukan kualitas peserta didik. Mengingat pentingnya peranan kelas ini, maka kemerdekaan guru dalam membina berlangsungnya proses pembelajaran harus memperoleh perhatian yang proporsional dalam perbaikan kualitas pendidikan melalui desentralisasi pendidikan atau manajemen berbasis sekolah.
Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berkaitan langsung dengan proses pembelajaran di kelas. Sebagai contoh Noble (1996), mengatakan bahwa MBS berkorelasi positif terhadap kehadiran guru (attendance), kepercayaan (trust) dan kepuasan guru (job satisfaction) dalam mengajar. Keempat hal itu merupakan aspek yang sangat penting dalam pembelajaran di kelas. Hal ini merupakan isu yang amat penting karena guru sebenarnya merupakan orang nomor satu dan mempunyai otoritas penuh dalam menentukan proses pembelajaran di kelas. Agar tercipta pembelajaran yang benar-benar sesuai dengan keinginan perbaikan kualitas pendidikan, maka perlu dilihat terlebih dahulu bagaimana pemahaman guru tentang otonomi pendidikan, skenario pembelajaran ke depan, serta tantangan guru dalam implementasi kurikulum berbasis kompetensi (curriculum based competency).
Kesempurnaan ketiga hal di atas merupakan kunci suksesnya perbaikan kualitas melalui desentralisasi pendidikan.

C. Pemahaman Guru Tentang Otonomi Pendidikan
Hasil pengamatan penulis terhadap pemahaman guru tentang implementasi desentralisasi pendidikan di lapangan masih menunjukkan hal yang cukup bervariasi, dan belum semua guru benar-benar mengetahui pemberlakuan dan makna desentralisasi pendidikan di sekolah. Hal ini paling tidak dapat dibedakan menjadi dua kelompok yang cukup dominan, yaitu:
Sebagian guru, baik pada pendidikan dasar maupun menengah rajin mengikuti perkembangan kebijakan pendidikan. Kelompok ini diwakili oleh mereka yang berada di perkotaan, mereka cukup mempunyai kreativitas dan keingintahuan (curiousity) yang cukup tinggi untuk meng ‘up date’ ilmu pengetahuan yang mereka kuasai.
Mereka merasakan bahwa desentralisasi pendidikan memberikan perbedaan kebebasan guru dalam penjabaran kurikulum, penentuan buku pelajaran (termasuk penentuan penerbit) serta pelaksanaan evaluasi, misalnya Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA) atau Ujian Akhir Sekolah (UAS). Dalam hal ini para guru merasa lebih bebas, lebih leluasa, tidak kaku dan tidak terpaku oleh aturan-aturan baku yang sentralistik, sehingga mereka lebih bisa berkreasi dan berinovasi. Untuk itu, ada sekolah-sekolah yang mampu menerapkan kebijakan ‘full day school’.
Menurut sebagian guru Taman Kanak-kanak yang sebelumnya cukup kreatif, perbedaan sistem sentralisasi dan desentralisasi hampir tidak ada. Para guru tetap mengacu pada kurikulum 1994 dan mereka mengembangkan sendiri tema-tema yang akan diajarkan di kelas. Dengan tema-tema itu mereka dituntut untuk kreatif mengembangkan ide-idenya disesuaikan dengan lingkungan masing-masing. Di samping itu, mereka merasa lebih leluasa karena mereka memang tidak mempunyai buku pegangan seperti guru-guru pada jenjang-jenjang pendidikan di atasnya.
Dengan sistem desentralisasi, guru menjadi fasilitator yang membelajarkan peserta didik. Sebagai subjek, peserta didik harus lebih aktif belajar, mengkonstruksi sendiri pikirannya tentang sesuatu yang sedang dipelajari.
Di balik pemahaman yang cukup bagus tentang desentralisasi pendidikan, sebagian guru yang lain, terutama di daerah pedesaan dan jauh dari sentuhan media masa, tidak tahu menahu bahkan tidak merasakan makna perubahan dari sistem sentralisasi ke desentralisasi, mereka masih melaksanakan kebiasaan-kebiasaan lama. Hampir senada dengan hal itu, guru senior pada umumnya bertahan dengan melakukan kegiatan yang sentralistis. Padahal, perbedaan pemberlakuan sistem penyelenggaraan pendidikan itu sangat berkait dengan ‘kemerdekaan’ proses pembelajaran yang telah mereka alami sebelumnya dan kemampuan guru yang bersangkutan.
Dijumpai juga kepala sekolah yang mengkaitkan desentralisasi pendidikan itu dengan kesiapan serta profesionalisme guru. Desentralisasi pendidikan menyebabkan guru kebingungan karena mereka harus betul-betul mengoptimalkan perannya secara menyeluruh, peran yang selama ini belum pernah mereka lakukan. Sebagai contoh, di era sentralisasi mereka cenderung mengutamakan lima mata pelajaran yang di-EBTANAS-kan, sementara saat sekarang mereka harus mempersiapkan semua mata pelajaran dengan menyeluruh dan profesional.

D. Otonomi Guru dalam Sistem Kurikulum Berbasis Kompetensi
Salah satu bentuk inovasi pendidikan yang saat ini sedang diuji-cobakan adalah ‘Kurikulum Berbasis Kompetensi’ (curriculum-based competency). Meskipun ujicoba itu belum diketahui hasilnya, Kurikulum Berbasis Kompetensi ini direncanakan akan diimplementasikan di sekolah-sekolah di Indonesia tahun 2004 sebagai pengganti Kurikulum 1994.
Kurikulum berbasis kompetensi pada dasarnya merupakan perangkat rencana pembelajaran, pengaturan kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai peserta didik, penilaian, kegiatan pembelajaran dan pengembangan sumber daya sekolah. Kurikulum ini berorientasi pada hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada peserta didik, serta pada pada keberagaman sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Kurikulum ini diharapkan dapat benar-benar membuat peserta didik mempunyai kompetensi pada mata pelajaran yang diajarkan, yaitu tidak hanya sampai pada ranah kognitif tingkat rendah, tetapi harus sampai pada ranah kognitif, afektif dan psikomotor tingkat tinggi.
Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas (2002) menyebutkan bahwa peran dan tanggung jawab guru dalam implementasi Kurikulum berbasis Kompetensi ini adalah: 1) mempelajari dan memahami kurikulum, 2) menyusun silabus yang sesuai dengan kebutuhan, 3) melaksanakan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan perencanaan, 4) mengumpulkan dan berbagi gagasan dengan sesama guru tentang perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembelajaran, 5) menghadiri pertemuan-pertemuan di sekolah, KKG/MGMP, tingkat kecamatan, kabupaten atau kota dan propinsi, 6) menyelesaikan tugas-tugas administrasi pembelajaran.
Dalam melaksanakan penilaian, guru harus: 1) memandang penilaian sebagai bagian integral dari kegiatan belajar mengajar, 2) mengembangkan strategi yang mendorong dan memperkuat dalam mengevaluasi dan bercermin diri, 3) melakukan berbagai strategi penilaian untuk menyediakan berbagai jenis informasi tentang hasil belajar peserta didik, 4) mengakomodasi kebutuhan khusus peserta didik, 5) mengembangkan sistem pencatatan dengan variasi cara dalam pengamatan belajar peserta didik, 6) menggunakan penilaian dalam rangka mengumpulkan informasi untuk membuat keputusan tentang tingkat pencapaian peserta didik.
Untuk menjaring hasil kerja yang dilakukan peserta didik, maka dalam melaksanakan penilaian guru dapat melakukan berbagai bentuk tes, seperti tes tertulis, tes penampilan (performance), penugasan atau proyek dan kumpulan hasil kerja dan tugas peserta didik dengan disertai komentar guru (portofolio).
Dengan memperhatikan rencana pemberlakuan dan muatan Kurikulum Berbasis Kompetensi seperti tersebut di atas, di satu sisi guru memang mempunyai kebebasan dalam melakukan pembelajaran, mulai dari menyusun silabus, melaksanakan pembelajaran di kelas sampai dengan melakukan evaluasi. Namun di sisi lain, kebebasan itu harus disertai dengan tanggung jawab dan volume tugas yang lebih berat. Oleh karena itu, pemberlakuan kurikulum baru itu harus diikuti oleh pembaharuan yang lain, seperti desiminasi kepada guru, pengurangan jumlah peserta didik maksimal dalam satu rombongan belajar. (Jumlah 40 peserta didik dalam satu rombongan belajar seperti yang diharapkan Puskur Balitbang Depdiknas, adalah jumlah yang masih terlalu besar). Tanpa sentuhan lain dari komponen pendidikan, pemberlakuan kurikulum baru itu hanya sekedar menjadi inefisiensi kebijakan.




BAB III
SIMPULAN

Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia telah mengalami beberapa periode perkembangan yang dinamis dan memperlihatkan kompleksitas hubungan antara pendidikan dan politik. Setiap periode ditandai oleh adanya infiltrasi politik terhadap sistem penyelenggaraan pendidikan dan implikasi sistem pendidikan terhadap dinamika politik. Sketsa penyelenggaraan pendidikan di negeri ini dapat dibagi menjadi enam periode perkembangan, diantaranya periode era reformasi.
Periode era reformasi yang dimulai pada tahun 1998, yang muncul Kurikulum 2004 yang dikenal dengan nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang pada tahun 2006 dilengkapi dengan Standar Isi dan Standar Kompetensi (Sisko) yang memandu sekolah menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Pintu otonomi pendidikan nasional telah dibuka lebar oleh pemerintah Indonesia. Berbagai perangkat peraturan dan kebijakan di bidang pendidikan telah dibuat, baik berkait dengan sistem manajemen pendidikan, maupun rencana pembaharuan kurikulumnya. Pembaharuan-pembaharuan itu berimplikasi terhadap kemerdekaan guru dalam mengkreasi proses pembelajaran di kelas.
Proses mengajar dan belajar yang sesuai dengan tuntutan otonomi pendidikan di atas adalah proses yang demokratis dan kooperatif. Untuk membuat guru mampu mengajar secara lebih demokratis, koperatif dan berkompeten seperti idealisme ‘tripilization’, pemerintah dan bangsa Indonesia masih harus bekerja keras memperbaiki komponen pendidikan yang lain, seperti kualitas dan mentalitas guru, sarana dan prasarana pembelajaran. Tanpa sentuhan komponen yang lain sebagai bagian dari suatu sistem pendidikan nasional, perubahan pembaharuan itu hanya akan menjadi kebijakan yang tidak efektif dan efisien.



DAFTAR PUSTAKA

Cheng, Y.C., 2001. ‘New Vision of School-based Management: Globalization, Localization, dan Individualization’. Paper presented on the First National Conference on School-based Management organized by the Ministry of Education of the Israel Government, Kfar Maccabiah, 1 – 6 April 2001.
DePorter, D. dan Hernacki, M., 2000. Quantum Learning, Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa.
Direktorat SLTP, Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan. Jakarta: Ditjen Dikdasmen, Depdiknas.
Dryden, G dan Vos, J., 2002. Revolusi Cara Belajar. Bandung: Kaifa.
Lyman, Lawrence; Foyle, Harvey C. 1988 Cooperative Learning Strategies and Children. ERIC Digest. http://ericae.net/edo/ED306003.htm
Martin, B.J. (tanpa tahun), Curriculum and Instruction. http://www.ccs.k12.nc.us/bmes/ curr.htm
Muhammad, Hadiyanto dan Nurli, 1999, Perbaikan Iklim Kelas yang Kurang Demokratis pada Sekolah Dasar No. 19 Padang Utara, Forum Pendidikan No. 01/ThXXIV Maret 1999
Noble, A.J., Deemer, S., and Davis B., 1996. School-based Management. http://www. rdc.udel.edu/pb9601.html
Bappenas, 2000. Program Pembangunan Nasional, http://www.bappenas.go.id/bap_ ind.html
Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas, 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas.
Surakhmad, W., 2002. ‘Implikasi Manajemen Pendidikan Nasional dalam Konteks Otonomi Daerah’ Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Manajemen Pendidikan, tanggal 8 s/d 10 Agustus 2002 di Hotel Indonesia, Jakarta.
Zamroni, 2001. Pendidikan untuk Demokrasi, tantang menuju civil society. Yogyakarta: Biograf Publishing
Hadiyanto, 2002. Makna Kebebasan Guru Dalam Pembelajaran Di Era Otonomi Pendidikan
Peran Penting Kurikulum dan Manajemen Pendidikan dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan Nasional
Sopacua, Henry Marijes S.Pd, SH, MH, “Tanggung jawab pemerintah daerah Dalam pemenuhan hak atas pendidikan”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar